Di masa Majapahit, selain sebagai wadah aktivitas rumah tangga, tanah liat digunakan untuk berbagai bentuk ekspresi. Hal ini tampak dari temuan terakota berbentuk kepala manusia, binatang (burung, babi), dan lain-lain.
Sebagai bahan baku arsitektur, tanah liat digunakan untuk jobong sumur hingga hiasan atap rumah. Dari sana para sejarawan menyimpulkan bagaimana masyarakat Majapahit memiliki kemampuan menggabungkan teknologi bangunan dengan seni.
Barang yang dibuat dari tanah liat tampak seperti ‘barang mainan’ dan juga barang yang fungsional. Setiap karya tanah liat Majapahit dikerjakan dengan teknik yang serupa, dikeringkan dan dibakar.
Menurut hasil observasi etnografi di Trowulan, perajin menyebutkan bahwa untuk mengerjakan barang-barang seni tersebut, diperlukan tempat yang teduh dan kehati-hatian. Tanah liat perlu proses pengerjaan khusus.
Untuk dapat dibentuk menjadi perlengkapan, tanah liat harus diayak dan dicampur dengan pasir halus. Setelah dibentuk atau dicetak, pengeringan dilakukan di tempat teduh, bukan di tempat terbuka yang langsung kena sinar matahari.
Editor : Trisna Eka Adhitya