Sampai di area pantai selatan Ki Ageng Wonowongso bejumpa dengan tiga orang pesemedi yang sedang mengamati
pantai. Kyai Wonowongso bertanya kepada ketiga orang pesemedi tersebut.
Mereka awalnya tidak menjawab danhanya saling tatap. Kyai Wonowongso pun mengulangi pertanyaannya lagi.
Akhirnya, salah seorang yang bernama Reso Semito menjawab. Ia mengatakan mereka tidak melihat seorang anak tapi melihat jejak kaki seorang anak yang menilas di pasir pantai.
Akhirnya, Ki Wonowongso meminta bantuan, bagaimana caranya agar ia dapat melihat anaknya. Para pesemedi tersebut menyarankan Ki Ageng Wonowongso melakukan puasa tujuh hari tidak makan dan minum.
Bernarlah. Setelah tujuh hari merampungkan puasanya, Kyai Wonowongso kembali ke pantai selatan. Di sana ia pun bisa melihat anaknya yang bernama Sayek.
Anehnya, ia tak bisa mendekati sang anak. Para pesemedi kembali menyarankan untuk memenuhi syarat lain.
Ki Ageng Wonowongso diminta membawa nasi satu kepal dan jala. Nasi satu kepal nantinya akan dilemparkan ke arah pantai.
Nasi itu digunakan untuk "memancing" Sayek. Saat sang anak mulai terlihat, Kyai Wonowongso mesti segera menangkapnya dengan jala.
Setelah berhasil menjala anaknya, Kyai Wonowongso bersegera mengajak sang putra pulang. Namun Sayek mengatakan bahwa bisa pulang setelah mengambil mainannya.
Sayek pun berpamitan dan membawa dolanan berupa genthong kecil (guci). Guci inilah yang kini disebut dengan Cupu Panjala.
Editor : Trisna Eka Adhitya
Artikel Terkait