MOJOKERTO, iNewMojokero.id - Kapan pastinya tahun keruntuhan Majapahit masih menjadi perdebatan. Meski demikian, ada peristiwa-peristiwa sentral yang bisa dijadikan patokan untuk membaca lini masa sejarah kerajaan yang dibangun Raden Wijaya ini.
Nama Trowulan menemukan titik awal memudar saat terjadi perpindahan ibukota ke Daha (Kediri). Peristiwa itu terjadi pada tahun 1478.
Trowulan diserang. Dalam penyerangan oleh Demak itu, sebuah sumber menyebut kota besar ini dibakar.
Para penduduknya melarikan diri. Semburat ke arah Timur Jawa: Banyuwangi hingga Bali, dan ke Barat: sebagian menyebut rakyat Majapahit membaur dengan penduduk Mataram.
Pararaton mencatat pelarian Majapahit, tetapi tidak menyebut nasib Trowulan.
Setelah penyerangan Demak, sisa-sisa Majapahit berada di bawah kesultanan Raden Patah tersebut. Namun bagaimana nasib Trowulan?
Pasca perpindahan ibukota Majapahit dan penguasaan Demak, nama Trowulan seakan lenyap. Sumber yang muncul kemudian menyebutkan kondisi Trowulan muncul dari Bali.
Salah satu catatan Bali tersebut adalah Kidung Pamancangah. Dalam kidung tersebut dikisahkan raja-raja Bali pada abad ke-17 dan ke-18 yang masih melakukan kunjungan ke Trowulan walaupun kondisinya sudah hancur.
Sebagaimana diketahui, banyak bangunan suci Hindhu yang berdiri di Trowulan selama Majapahit berdiri. Dari Kidung Pamancangah inilah didapatkan gambaran kegiatan ziarah yang dilakukan para raja Bali ke Trowulan.
Tampaknya, karena tatanan di Pulau Jaw telah bergeser ke arah Islam, kunjungan ke Trowulan hanya dilaksanakan oleh masyarakat Hindhu Bali.
Pada masa pendudukan Belanda abad 17, Trowulan secara administratif berada di bawah Japan (nama lain dari wilayah Mojokerto). Japan sendiri merupakan daerah bawahan dari Kabupaten Pasuruan yang dipimpin oleh Untung Suropati (sekitar 1645-1706).
Sepanjang catatan administratif Belanda mengenai Pasuruan, nama Trowulan tidak disebut.
Barangkali benar bahwa pasca menurunnya aktivitas ziarah para raja Bali itu, Trowulan tinggal kosong. Ibu kota kerajaan yang pernah menguasai hampir seluruh Nusantara itu menjadi hutan terbengkalai.
Bangunan-bangunannya dimakan semak dan akhirnya rusak. Hingga suatu hari Wardenaar, seorang utusan Raffles mengungkapnya kembali.
Editor : Trisna Eka Adhitya