Dia berpandangan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas menyatakan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. "Bagaimana kita dapat mencapai tujuan mulia ini jika para pemimpin pendidikan sendiri tidak menunjukkan konsistensi dalam mematuhi aturan yang berlaku?," lontarnya.
Ia menjabarkan, jika siswa adalah pengamat yang sangat peka. Mereka belajar tidak hanya dari kurikulum formal, tetapi juga dari hidden curriculum—pembelajaran yang terjadi melalui pengamatan terhadap perilaku dan sikap para pendidik. Ketika kepala sekolah dilantik melalui proses yang bermasalah, pesan implisit yang tertanam adalah bahwa aturan dapat diabaikan jika ada kepentingan tertentu.
"Lembaga pendidikan seharusnya menjadi benteng moral masyarakat. Ketika kredibilitas moral pemimpin pendidikan dipertanyakan, maka seluruh ekosistem pendidikan akan mengalami goncangan. Guru-guru yang berintegritas akan merasa demoralisasi, sementara yang oportunis akan melihat ini sebagai sinyal bahwa merit system tidak berjalan dengan baik," kata dosen pendidikan agama islam tersebut.
Fenomena itu juga berpotensi menciptakan cynicism di kalangan pendidik. Ketika melihat rekan sejawat yang tidak mengikuti prosedur standar justru mendapat posisi strategis, sementara yang patuh pada regulasi harus menunggu, maka akan terjadi degradasi motivasi untuk mematuhi aturan yang berlaku.
Selanjutnya, aspek moral lain yang tidak kalah penting adalah keadilan. Laporan menyebutkan bahwa kepala sekolah senior yang telah lama mengabdi di daerah pinggiran justru tidak mendapat tempat di sekolah besar, sementara yang belum memenuhi syarat regulasi ditempatkan di sekolah favorit. Ini menunjukkan ketidakadilan yang dapat merusak sistem merit dalam dunia pendidikan.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait
