Cerita Pengamanan Humanis Saat Kericuhan Pecah di Gedung Negara Grahadi
Dengan kapasitas tangki berbeda—3.000 liter, 5.000 liter, hingga 10.000 liter—para petugas damkar menyemprotkan air secara bergantian.
Asap pekat mengepul, api makin mendekati gedung utama. Sementara itu, batu dan petasan tetap dilemparkan dari kerumunan. Seorang petugas damkar bahkan terluka akibat terkena ledakan petasan, hingga harus dibawa ke rumah sakit.
Saat akhirnya api berhasil dipadamkan, Bambang mengaku lega. “Pangdam sendiri yang menyampaikan terima kasih. Beliau bilang kalau kami terlambat dua sampai lima menit saja, mungkin Grahadi sudah rata dengan tanah.”
Beberapa jam sebelum api melalap sisi barat Gedung Negara Grahadi, suasana sempat mencair. Di tengah ribuan massa yang memadati halaman, terdengar sorakan, “Ijo! Ijo! Ijo!” menyambut Pangdam V/Brawijaya Mayjend TNI Rudy Saladin yang berjalan keluar menemui mereka. Dengan senyum tenang, ia melangkah ke kerumunan. Kehadirannya seakan meredam ketegangan yang sejak sore menebal.
Dalam kondisi krisis seperti itu, Rudy tidak serta-merta mengandalkan pasukan. Ia memilih empati sebagai senjata. Baginya, krisis bukan hanya soal mengerahkan kekuatan, melainkan juga membaca hati massa. “Saya lihat mereka dewasa. Ketika ada yang melempar botol, mahasiswa sendiri yang melarang. Mereka tak suka kerusuhan,” ujarnya.
Namun keputusan itu bukan tanpa risiko. Rudy sempat bergulat dalam batin. Ia paham, provokator bisa saja memicu bentrokan setiap saat. Meski demikian, naluri kepemimpinan membuatnya memilih jalan berani. Berdiri langsung di tengah mahasiswa, mendengarkan, dan berempati.
“Mereka minta teman-temannya yang ditahan di Polrestabes Surabaya dibebaskan. Saya sampaikan, kita cari jalan bersama,” kata Rudy.

Editor : Trisna Eka Adhitya