MOJOKERTO, iNewsMojokerto.id - Trowulan pernah jadi tempat pendulangan emas. Itu terjadi sekitar tahun 1950-1970-an.
Jumlah emas di Trowulan tampaknya tidak cukup banyak. Saat masyarakat mulai merasa sulit menemukan emas, sasaran berpindah ke batu bata merah khas Majapahit.
Bagaimana kisahnya? Dalam sebuah penelitian yang dikerjakan oleh Sugih Biantoro dan termuat dalam buku "Kajian Politik Ekonomi Pelestarian Tinggalan Majapahit di Kawasan Trowulan", disebutkan bahwa hal tersebut sebenarnya berkaitan dengan pemahaman masyarakat terkait pemanfaatan lahan.
Berawal dari masa penjajahan Belanda
Di masa kerajaan, tanah dikuasai oleh raja atau pihak bangsawan yang ditunjuk oleh raja. Kebanyan masyarakat biasa tidak memiliki hak tanah sendiri.
Kemudian, pada masa kolonial Belanda, diberlakukan Undang-Undang Tanah tahun 1870 (Agrarische Wet 1870). UU itu mengatur hak atas tanah secara perorangan (hak eigendom) dan hak atas secara adat (hak ulayat).
Namun pemberlakukan UU tersebut tidak terlalu berpengaruh di tingkat bawah. Rasa kepemilikan atas sebuah wilayah tidak serta merta dapat dikontrol oleh pemerintah.
Setelah masa kemerdekaan, muncul Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menggantikan UU tahun 1870. Namun, masalah kepemilikan tanah masih banyak
mengalami hambatan.
Tampaknya hal itu juga yang terjadi di wilayah Trowulan. Masyarakat setempat telah merasa memiliki wilayah yang ditinggalinya.
Aktivitas pemanfaatan lahan oleh masyarakat Trowulan sudah berlangsung lama. Pada tahun 1950–1970, selain bertani masyarakat Trowulan melakukan pendulangan emas di lahan-lahan yang mereka kuasai.
Dari emas ke batu bata
Kegiatan mendulang emas tetap berjalan hingga akhirnya masyarakat merasa semakin sulit menemukan emas dan ketersediaannya dianggap habis. Saat itu terjadi, masyarakat secara mencari objek berharga lainnnya.
Saat itulah batu bata yang ditemukan berserak di wilayah Trowulan mulai menjadi sasaran. Masyarakat beralih menjadi pencari bata merah yaitu bata peninggalan Majapahit.
Sebenarnya, batu bata merah ini tidakk lantas menawarkan nilai ekonomi yang tinggi.. Sebab diketahui bahwa batu bata temua itu tidak seluruhnya dijual.
Kebanyakan justru bata merah yang berhasil dikumpulkan dijadikan sebagai bahan daur ulang. Yaitu bahan untuk membangun rumah atau ditumbuk untuk dijadikan semen merah campuran plester.
Saat stok bata merah Majapahit ini semakin jarang ditemukan, masyarakat beralih kembali. Kali ini profesi pembuat semen merah berganti menjadi pembuat batu bata menggunakan tanah yang berasal dari lahan mereka.
Masyarakat mulai mengambil tanah sampai kedalaman tertentu. Sampai satu ketika lapisan tanah subur ditemukan dan sejumlah penggalian justru mengantar pada penemuan situs-situs Majapahit yang terkubur di kedalaman.
Editor : Trisna Eka Adhitya