JOMBANG, iNewsMojokerto.id - Sejumlah Ulama di Jombang Jawa Timur menanggapi tragedi kematian Bintang Balqis Maulana (14) yang diduga dianiaya oleh seniornya di sebuah pesantren Kediri pada 23 Februari 2024.
Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang KH. Abdul Hakim Mahfudz menyampaikan keprihatinan sekaligus mengajak semua pihak untuk mengambil pelajaran dari kejadian tersebut.
"Kita semua tentu sangat prihatin dengan peristiwa yang terjadi pada Ananda Bintang. Kita doakan yang terbaik untuk almarhum. Semoga ini menjadi tragedi terakhir yang terjadi di lingkungan pesantren," kata Gus Kikin sapaan akrabnya, Selasa (5/3/2024).
Gus Kikin mengajak semua pihak untuk melakukan introspeksi dan evaluasi secara berkelanjutan. Sebab, perubahan perilaku di kalangan remaja saat ini memang seringkali menimbulkan "kejutan-kejutan" yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Hal itu, menurut cicit Hadratussekh Hasyim Asy'ari ini, juga tidak bisa dilepaskan dari pola pengasuhan di lingkungan keluarga.
"Sadar atau tidak, banyak orang tua yang menjadikan gawai sebagai 'baby sitter' bagi anak-anak mereka sejak usia balita. Akibatnya, tidak sedikit yang meniru perilaku kekerasan dari apa yang mereka tonton di gawai itu," kata Pejabat Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur ini.
Kondisi tersebut, ditegaskan Gus Kikin, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para pengurus dan pengasuh pesantren. Karena itu, pengelola pesantren juga harus selalu adaptif dan antisipatif terhadap berbagai perkembangan dan perubahan yang ada di tengah-tengah masyarakat.
"Tentu dengan tetap menjadikan nilai-nilai luhur pesantren sebagai inspirasi dan pedoman dalam membimbing keseharian para santri," ujarnya.
Senada disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang KH Zaimudin Asad Umar. Peristiwa meninggalnya santri saat menempuh pendidikan di pesantren adalah musibah yang seluruh warga pesantren tak ada yang menduganya.
"Suatu musibah yang bisa terjadi di lembaga pendidikan manapun selama yang dibina adalah anak-anak kita yang beraneka ragam temperamen dan karakternya," kata Zaimudin Asad Umar yang akrab dipanggil Gus Zuem.
Sehingga, menurut Gus Zuem, gesekan antar peserta didik atau santri yang berujung fatal, bisa terjadi dimana saja, di pesantren kecil atau besar, bahkan di lembaga pendidikan kedinasan sekalipun.
"Maka, bagi saya, tidak ada alasan untuk takut masuk pesantren, karena hingga saat ini, dengan melihat pergaulan remaja di masyarakat yang memprihatinkan, belajar di pesantren adalah pilihan yang lebih menentramkan hati orang tua, " tegas ulama alumnus UGM Yogjakarta ini.
Sementara Pengasuh Pondok Pesantren Al Aqobah Kwaron Diwek Jombang Jawa Timur, KH Junaidi Hidayat menegaskan pengelola lembaga pendidikan pesantren harus fokus memberikan perhatian penuh terhadap kehidupan anak, setiap harinya.
"Jadi tidak boleh disambi, tapi betul-betul fokus memperhatikan dalam 24 jam terkait dengan situasi perkembangan kondisi anak di dalam lingkungan pesantren maupun asrama itu. Harus betul-betul terpantau dengan baik melalui sistem manajemen pengawasan pesantren," ujarnya.
Selain itu, melakukan pendekatan pembinaan secara Humanistik. Tidak terlalu mengedepankan tekanan aturan sanksi yang akan menimbulkan bentuk perlawanan secara diam-diam.
"Sepertinya mereka patuh, tapi sesungguhnya dalam tekanan itu pasti menimbulkan buzer berujung pada ketidaknyamanan lalu mencari pelampiasan dengan perilaku-perilaku beresiko seperti kekerasan itu," ujarnya.
Jadi, kata Kiai Junaidi, kata kuncinya memahami lalu mengapresiasi, membanggakannya dan memberikan kebanggaan bahwa mereka semua baik.
"Jangan dilakukan diskriminasi dengan berbagai macam kategori ranking dan sebagai di dalam proses pendidikan, karena itu menimbulkan luka, perasaan tidak berharga dan itu menjadi benih untuk melakukan tindakan kekerasan. Sebaiknya anak itu dibandingkan dengan dirinya sendiri dalam progres perolehan pendidikan yang diperoleh," ujarnya.
Terakhir, Kiai Junaidi harus ada aktivitas yang bisa memberikan kepuasan kepada santri di dalam asrama.
"Semua aktivitas harus anak banget. Artinya dicari aktivitas yang mereka inginkan, yang mampu membangun kreativitas. Karena jika sudah sibuk dengan aktivitas itu, saya kira mereka akan lupa dengan tindakan-tindakan yang negatif," tandasnya.
Editor : Arif Ardliyanto