MOJOKERTO, iNewsMojokerto.id - Hukum utang piutang tlah dikenal masyarakat sejdi masa Majapahit. Menariknya hukum ini juga menyebut adanya atura penarikan bunga hutang.
Di masa Majapahit sudah lazim adanya praktik mengambil bunga atau laba dalam hutang. Aturan mengenai utang piutang ternyata sudah termuat di dalam satu undang-undang atau sistem hukum yang khusus.
Aturan mengenai hutang piutang pada masa Majapahit tertulis dalam satu naskah perundang-undangan agama dan Kutara Manawa Sastra.
Sejarawan Slamet Mulyana menguraikan terkait hutang piutang, bab-bab yang dibahas di dalam naskah hukum Kutara Manawa Sastra adalah ketentuan hutang piutang, pengukuran hutang, dan penyelesaian hutang piutang.
Salah satu yang dibahas misalnya pada pasal 117 mengenai syarat awal yang perlu dipenuhi saat melakukan hutang piutang. Dalam hal ini pelaksanaan transaksi hutang piutang hanya boleh dilakukan di 2 hari yakni Senin dan Kamis.
Selain terkait pengaturan syarat, dalam kitab tersebut juga dimuat mengenai aturan penarikan bunga atau laba. Secara khusus peraturan mengenai pengenaan bunga dalam pinjaman diatur di dalam pasal 122.
Pasal tersebut mengatur besarnya bunga yang boleh dikenakan terhadap jumlah uang yang dipinjamkan secara rinci bagian tersebut menyebut bahwa hutang uang yang tertinggi setiap bulan dari hutangan 1000 adalah 20, 40, dan 50.
Pembayaran bunga harus dilakukan menurut perjanjian yang termuat dalam surat piutang atau disebut juga dengan istilah Pawitan. Selain itu tempat pembayaran bunga juga ditetapkan hanya boleh dilakukan di rumah kediaman orang yang berhutang.
Dalam aturan hutang piutang Majapahit ditentukan bahwa jika terjadi penunggakan pembayaran bunga beberapa kali maka hutang dilipatkan dua kali.
Setelah hutang dilipat menjadi dua kali dan hutang serta bunganya masih belum dibayar, orang yang memberikan hutang berwenang untuk memutuskan apakah orang yang berhutang masih mampu atau tidak membayar hutangnya.
Jika hal itu terjadi maka pihak penghutang atau yang memberi hutang berwenang mengambil orang yang berhutang sebagai hamba. Atau jika ada harta benda yang bisa dibayarkan sesuai dengan nilai yang sama dengan besaran hutang maka harta benda tersebut menjadi milik pemberi hutang.
Aturan hutang piutang Majapahit tidak jauh berbeda dengan peraturan hutang yang kita kenal saat ini. Hal yang penting juga di garis bawahi terkait peraturan hutang piutang dalam Kutara Manawasastra tersebut adalah bahwa transaksi hutang piutang dan tanggung jawab untuk membayar hutang berkaitan dengan sikap dan kesadaran keagamaan seseorang.
Dalam kitab tersebut sesungguhnya menegaskan bahwa hutang adalah bagian dari amanah yang harus ditunaikan. Oleh karena itu orang yang lalai terhadap hutangnya juga dianggap lalai dalam hal keagamaan.
Editor : Trisna Eka Adhitya