MOJOKERTO, iNewsMojokerto.id - Sampai hari ini masih ada sejumlah lokasi di Pulau Jawa yang menganut sistem pasar rotasi. Sistem ini merupakan sistem pasar berpindah menurut aturan tertentu.
Sistem pasar rotasi adalah sistem pasar yang diterapan pula di zaman Majapahit. Bukan asal berpindah, sistem pasar itu diatur berdasarkan pengetahuan kosmologis masyarakat Jawa.
Pasa sendiri bukanlah ruang yang remeh. Dalam catatan Mpu Prapanca di Negarakretagama, pasar disebutkan sebagai salah satu bukti semaraknya kehidupan masyarakat Majapahit.
Dari catatan Mpu Prapanca ini pula didapatkan dulu pasar dikenal dengan istilah 'pkan'. Pasar diatur dalam sistem hari pasar atau pasaran yang berjumlah lima hari.
Sistem ini dikenal dengan sebutan pancawara: manis (legi), pahing, pon, wage, dan kliwon.
Sistem pancawara sebenarnya merupakan abgian dari sistem penanggalan lima harian dalam tradisi Jawa. Pengaturannya diterapkan di banyak aspek dalam keseharian.
Salah satunya adalah penataan desa atau panatur desa.
Dalam konsep panatur desa, ditempatkan satu desa di pusat sebagai desa induk. Desa induk ini dikelilingi oleh empat desa kecil yang berlokasi sesuai arah mata angin.
Bila dibaca dengan kosmologi pancawara, desa pusat menempati posisi Kliwon, desa utara sebagai Wage, desa timur sebagai Legi, desa Selatan sebagai Pahing, dan desa barat sebagai Pon.
Penerapan konsep pancawara mengatur arah dan urutan rotasi tempat pasar diselenggarakan. Misalnya pada hari Wage, maka pasar akan digelar di desa yang berlokasi di utara.
Hal tersebut terus berjalan berurutan sebagai satu siklus yang dikenal dengan istilah sepasar.
Sebagaimana desa induk, pasar yang diselenggarakan pada hari Kliwon umumnya lebih meriah dan lengkap dibanding hari lainnya.
Sistem rotasi semacam itu masih diterapkan di daerah tertentu di pulau Jawa. Meski demikian, kini lebih banyak masyarakat yang tak lagi mengenal kearifan pengetahuan kosmologis tersebut.
Editor : Trisna Eka Adhitya