MOJOKERTO, iNews.id - Nagarakretagama adalah sebuah mahakarya dari masa kejayaan Majapahit. Kakawin Nagarakretagama atau kadang dieja Nagarakertagama ditulis oleh Mpu Prapanca pada sekitar 1365 M.
Dari terjemahan yang ditulis oleh Prof. Slamet Mulyana, isi secara umum kakawin Nagarakretagama adalah sebuah pujasastra, yaitu teks sastra yang berisi pujaan atau sanjungan.
Penulisan kakawin ini ditujukan kepada raja yang saat itu tengah berkuasa di Majapahit, Sang Rajasanegara atau lebih umum dikenal dengan nama Raja Hayam Wuruk. Sanjungan dan pujian kepada raja yang termuat dalam kakawin Nagarakretagama ini memiliki nilai sastra yang tinggi.
Selain berupa kisah kebesaran kerajaan di masa itu, nilai sastra kakawin ini juga tampak dalam bagaimana cara Mpu Prapanca menyampaikan sindiran kepada raja akan ketidakadilan yang ia temukan.
Analisis Prof. Slamet Mulyana dalam buku "Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit)" menunjukkan bagaimana cara Mpu Prapanca menyampaikan kritik secara halus.
Pada pupuh 73/3-6, Mpu Prapanca dengan indahnya mengisahkan perbandingan antara candi makam Kagenengan dengan sebuah candi Budha yang terletak di sebelah selatan, tidak jauh dari Kagenengan.
Mpu Prapanca menguraikan keadaan candi Kagenengan yang sangat indah terawat. Candi Kagenengan ini ternyata merupakan sebuah bangunan Siwa.
Sementara itu, Prapanca adalah seorang pembesar agama Budha. Tentulah ia secara naluriah memiliki kepedulian terhadap kondisi bangunan-bangunan suci agama Budha.
Dalam uraian perbandingan itu, Mpu Prapanca tidak secara langsung mengutarakan bahwa ada ketidaksamaan perlakuan antara penganut Siwa dan penganut Budha. Candi Siwa tampak dirawat baik, sedangkan candi Budha dibiarkan terbengkalai.
Mpu Prapanca secara halus sekadar mengisahkan perbedaan antara dua bangunan itu saja. Kemudian, ia menambahkan uraian tentang perasaannya tatkala melihat bangunan candi yang terbengkalai.
Sebagaimana terjemahan Prof. Slamet Mulyono disebutkan:
"Pedih rasa hati melihat tiada obat untuk menyembuhkan kecuali menanti Rajasanagara, pangkal tumbuh segala hidup, karena beliau putus keluhuran, bijak memperbaiki jagat, pengasih kepada yang ditimpa sedih, sungguh dewa menjelma."
Mpu Prapanca pun mengakhiri kisahnya tentang kedua candi dengan sekali lagi menghaturkan sanjungan kepada raja. Begitulah cara sastrawan di masa Majapahit menyampaikan kritik pada pemerintahan.
Perbandingan kisah kedua candi yang diuraikan Mpu Prapanca dalam kakawin Nagarakretagama ini tampaknya ditujukan untuk mengharap raja memberi perhatian yang sama pada semua bangunan keagamaan. Tidak hanya berat sisi pada satu agama saja.
Editor : Trisna Eka Adhitya