SURABAYA, iNews.id - Bisnis kertas bekas yang dirintis Rachmat Hidayat (49) terus berkembang. Sempat nyaris mati, usaha barang rongsokan dengan brand 'Republik Rombeng' itu kembali bangkit berkat pembiayaan ultra mikro (UMi).
Tumpukan kertas bekas menggunung di gudang rongsokan milik Hidayat di kawasan Taman, Sidoarjo. Buku, majalah, koran hingga kertas HVS bercampur tak beraturan memenuhi gudang di belakang rumah.
Beragam jenis kertas dengan berbagai ukuran itu baru saja dikirim para pelanggan. Kertas-kertas itu menunggu dipilah sebelum akhirnya dikirim ke pabrik.
"Kalau langsung dikirim, pabrik enggak mau nerima. Harus dipilah dulu sesuai jenisnya," kata laki-laki yang akrab disapa Dayat kepada iNews.id, Kamis (28/11/2024).
Sudah ada dua karyawan yang bertugas mengurus sampah kertas tersebut. Merekalah yang akan memilah, menimbang, lalu mengikatnya dengan rapi agar mudah diangkut menuju pabrik.
Dahulu, semua tugas itu dikerjakan Dayat sendirian. Sebab, pendapatan masih kecil. Tidak cukup jika harus membayar karyawan. Bahkan, tugas berburu kertas pun dikerjakan sendiri lantaran belum memiliki pelanggan.
"Biasanya pulang kerja saya mampir ke kantor-kantor. Memborong kertas-kertas yang sudah tidak terpakai," kata laki-laki yang bekerja di salah satu perusahaan media ini.
Awal berdiri, semua jenis barang bekas diambil. Setahun berselang dia fokus pada jenis kertas bekas. Alasannya, banyak pabrik kertas di sekitar tempat tinggalnya yang butuh pasokan.
Dayat bekerja tak kenal lelah. Setiap kali pulang bekerja, dia menyempatkan mampir ke beberapa kantor untuk mencari dan mengambil kertas bekas yang sudah dia pesan.
Atas aktivitasnya itu, Dayat hampir tiap hari pulang larut malam. Bahkan dia juga kerap diejek teman-temannya karena bersinggungan dengan barang rongsokan tersebut.
Namun, Dayat bergeming. Dia tetap yakin bahwa ada rezeki berlimpah di antara tumpukan kertas bekas itu.
"Bagi orang lain kertas bekas mungkin hanya sampah. Tapi di mata saya, kertas bekas itu emas," tutur bapak dua anak tersebut.
Dayat membuktikan keyakinannya itu. Dia berhasil menjadikan bisnis kertas bekas terus berkembang hingga meraup untung besar.
Kertas bekas yang semula hanya bisa terkumpul 4 kwintal per bulan, kini naik menjadi 4 ton per bulan. "Dulu masih nitip ke pengepul karena sedikit. Sekarang sudah bisa kirim sendiri ke pabrik," katanya.
Rezeki Tak Terduga
Dayat mengatakan, peluang untung dari bisnis kertas bekas cukup besar. Sebab, seringkali kertas bekas itu dianggap sampah tak berguna oleh pemiliknya. Karena itu mereka kadang tidak peduli berapa pun kertas itu ditawar.
"Mereka hanya ingin kantornya bersih. Kalau sudah begini, untung bisa besar," ucapnya.
Dayat mengaku biasanya menaksir harga kertas antara 20 hingga 25 persen lebih rendah dari harga pabrik. Contohnya, ketika harga kertas di pabrik Rp3.700 per kilogram, maka maksimal dia akan menawar kertas ke pembeli dengan harga Rp3.000 per kilogram.
"Jadi masih ada untung Rp700 per kilogram. Kalau nasib sedang bagus bahkan bisa untung 100 persen. Kertas bekasnya diberikan begitu saja tanpa mau dibayar," ucapnya.
Di luar itu, Dayat juga sering mendapatkan rezeki tak terduga dari bisnisnya itu. Beberapa kali dia mendapatkan buku langka dari pelanggan. Buku-buku itu lantas dia sisihkan dan dijual terpisah kepada kolektor.
Harganya tentu jauh lebih besar daripada dijual kiloan ke pabrik.
"Saya pernah dapat buku 'Di Bawah Bendera Revolusi dan "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai'. Dari dua buku itu saya dapat Rp1,5 juta dari kolektor. Padahal kalau dikilo harganya cuma Rp2.000," katanya.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait