MOJOKERTO, iNewsMojokerto.id - Wisata Watu Blorok menyimpan sebuah mitos yang berkaitan dengan sejarah Majapahit. Situs ini cukup populer di kalangan masyarakat Jawa Timur.
Wisata Watu Blorok adalah salah satu titik yang diyakini menyimpan energi keramat sebagai bagian dari kisah Majapahit. Meski demikian, ada perbedaan antara narasi yang dipercaya masyarakat dengan yang diungkap oleh pembacaan sejarah.
Mitos Kakak Beradik yang Dikutuk Ayahnya
Dalam sebuah penelitian yang dikerjakan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Surabaya, didapatkan kisah mengenai Joko Wilis dan Nyi Blorok di balik keberadaan situ ini. Joko Wilis dan Nyi Blorok adalah sepasang kakak beradik.
Mereka adalah keturunan dari Wiro Bastam, salah satu orang kepercayaan dari kerajaan Majapahit tahun 1293. Itu adalah masa awal pendirian kerajaan.
Dikisahkan Wiro Bastam diutus untuk mencari sebuah pusaka yang hilang. Wiro Bastam mencari pusaka tersebut sampai kegunung Wilis, lokasi Watu Blorok saat ini.
Dalam pencarian pusaka tersebut Wiro Bastam bertemu dengan Dewi Kemuning. Mereka menikah dan dikaruniai seorang putera bernama Joko Wilis.
Lama setelah kelahiran Joko Wilis, pasangan ini dikaruniai seorang bayi lagi. Kali ini seorang bayi perempuan diberi nama Nyi Welas.
Tugas pencarian pusaka belum dapat dituntaskan. Wiro Bastam yang sudah berumur tak lagi dapat melaksanakan pencarian.
Ia pun menugaskan anaknya Joko Wilis dan Nyi Welas mengetahui membantu. Sampai suatu ketika setelah lama pencarian tidak membuahkan hasil, Nyi Welas bermimpi bahwa pusaka tersebut berada di dalam hutan dekat keluarganya tinggal.
Nyi Welas dan Jaka Wilis berencana untuk mencari pusaka itu kembali di sekitar gunung Wilis. Namun ayahnya berpesan, jangan sampai masuk ke area hutan larangan.
Sekian lamanya mencari pusaka, tidak kunjung ditemukan sehingga Nyi Welas merasa perlu mencari ke area hutan larangan. Joko Wilis tidak sepakat.
Namun Nyi Welas memaksakan diri memasuki hutan larangan sendirian. Di tengah hutan larangan , Nyi Welas menemukan sebuah lubang yang mirip dengan sumur.
Ia berencana mengajak Joko Wilis sebab ia merasa mendapat firasat bahwa pusaka yang dicari berada di dalam sumur tersebut.
Di depan sumur itu, kedua kakak beradik ini berdebat. Nyi Welas bersikeras masuk ke dalam sumur untuk mengecek apakah pusaka tersebut benar di sana atau tidak.
Jaka Wilis yang khawatir akhirnya hanya bisa menunggu di atas. Sampai beberapa lama terdengar teriakan Nyi Welas meminta tolong. Ia mengaku kepanasan dan gatal seluruh tubuhnya.
Saat berhasil diangkat keluar dari sana oleh Joko Wilis dan Wiro Bastam, tampaklah sekujur kulit Nyi Welas penuh luka. Dalam bahasa Jawa itu disebut 'borok'. Maka berhentilah nama Nyi Welas dengan Nyi Borok.
Sangat lama Nyi Borok tak kunjung sembuh. Tak disangka ia masih penasaran akan pusaka tersebut. Nyi Borok pun mengajak Joko Wilis untuk kembali melakukan pencarian lagi ke hutan larangan.
Kali ini Joko Wilis sangat tidak setuju. Mereka berdua akhirnya terlibat cekcok hebat dan berakhir dengan perkelahian.
Joko Wilis dan Nyi Borok adu kekuatan hingga pertengkaran tersebut terdengar oleh ayah dan ibu mereka. Dua orang ini berusaha menghentikan putra putrinya.
Namun kekuatan mereka tidak sebanding. Tubuh Wiro Bastam yang sudah tua terhempas hingga ia merasa sangat marah. Di situlah Wiro mengeluarkan supata.
Wiro Bastam mengucap kata-kata kutukan kepada dua anaknya, "Hati dan pikiran kalian seperti batu." Dan sekejap mata, tanpa disadari kedua anaknya pun menjadi batu.
Dua batu itulah yang kini menjadi ikon situs Watu Blorok. Kata Blorok sendiri merujuk pada bercak hitam seperti kata Borok yang disematkan pada Nyi Welas.
Versi pembacaan sejarah
Berbeda dengan cerita mitos yang diyakini masyarakat, dalam kacamata sejarah diduga area Watu Blorok ini adalah lokasi tempat rombongan Majapahit kala pemberontakan Ra Kuti.
Pasukan Prabu Jayanegara dan Gajah Mada bersembunyi di Hutan Mojoroto yang kini disebut Hutan Watu Blorok. Jadi kemungkinan Watu Blorok kala itu menjadi semacam pos penjagaan.
Mengingat lokasinya tinggi, dan cukup tersembunyi. Jika memandang ke Selatan, bisa langsung memantau arah istana yang ada di Trowulan.
Editor : Trisna Eka Adhitya