MOJOKERTO, iNewsMojokerto.id - Cerita Panji menyimpan catatan berharga sebagai karya asli leluhur orang Jawa. Berbagai penelitian terus dilakukan dalam upaya menguak misteri Cerita Panji dan nilai-nilai murni identitas kejawaan bahkan keindonesiaan.
Cerita Panji yang dikenal dengan ragam versi melahirkan banyak tokoh yang dapat ditelisik guna memahami bagaimana peradaban masa lalu. Khususnya untuk menemukan relevansi pengetahuan yang dapat dikembangkan sebagai nilai di masa depan.
Siapa yang mengira, Cerita Panji menyimpan fakta tidak biasa mengenai konstruksi perempuan Jawa. Hal ini bisa menjadi fakta yang mengubah pola pikir masyarakat.
Nilai keperempuanan yang cenderung dibangun di bawah atap patriarkhi tampak menemukan tandingannya dalam alur Cerita Panji. Apakah benar perempuan Jawa hanyalah "second gender"?
Sebuah penelitian dilakukan oleh Karsono H. Saputra mengungkap bagaimana naskah Serat Panji Anggraini (Angreni) mencitrakan sosok perempuan. Sebuah penelitian yang unik.
Penelitian Karsono menemukan poin yang berbeda dengan apa yang selama ini berkembang di tengah masyarakat Jawa.
Naskah Panji yang diteliti oleh Karsono adalah Serat Panji Angreni yang diketahui berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Naskah ini tercatat sebagai naskah dengan alur cerita yang terlengkap dibanding versi-versi lainnya.
Cerita Panji dalam berbagai versi umumnya berfokus pada kisah dua tokoh utamanya, Raden Inu Kertapati dan sang kekasih, Dewi Candrakirana. Sepasang kekasih ini diceritakan menemukan banyak rintangan dalam perjalanan cinta mereka.
Di antara rintangan-rintangan tersebut, hadir pula tokoh-tokoh lain mengiring perjalanan Raden Inu dan Candrakirana. Panji Angreni adalah salah satu yang menunjukkan keunikan.
Kata 'angreni' tidak diambil dari nama samaran Inu Kertapati ataupun Candrakirana. Nama itu justru muncul dari nama istri Inu Kertapati sebelum bertemu dengan Candrakirana.
Ternyata, Raden Inu pernah menikah sebelum ia jatuh hati dengan sosok Candrakirana. Apa yang terjadi?
Pernikahan Raden Inu dan Angreni mendapat penolakan dari Raja Kadiri, ayahanda Candrakirana. Sebab sebenarnya Raden inu dan Candrakirana telah dijodohkan sejak kecil.
Merespon hal tersebut, Raja Jenggala, ayahanda Raden Inu, memerintahkan pembunuhan terhadap Angreni. Saat kematian istrinya ia ketahui, Raden Inu pun merasa hancur.
Menurut Karsono, pembacaan atas naskah tersebut perlu mendudukan diri sesuai nilai yang berkembang di masa asal teks tersebut. Apa yang dilakukan Angreni bukanlah bukti ketidakberdayaan perempuan.
Justru sebaliknya. Karsono menyebut adanya konsep kepasrahan yang bisa "nglungguhake awak" atau ‘dapat menempatkan diri’ dalam perjalanan hidup.
Menurut Karsono, Angreni merupakan perempuan yang dapat ngilo ‘bercermin, menyadari’ serta bisa ngrumangsani ‘dapat memahami keadaan diri’.
"Cintanya terhadap Panji bukan “cinta mati”, bukan pula cinta egois. Ia tahu bahwa Panji merupakan putra mahkota yang kelak harus ngemban pusaraning
praja ‘melaksanakan tugas pemerintahan’, yang harus membangun citra dan kekuatan, di antaranya harus membangun persekutuan dengan pihak lain dan sedapat mungkin menghindari permusuhan," tulis Karsono.
Menurut Karsono, kepasrahan yang sejatinya menunjukkan kekuatan semacam ini tidak akan ditemui pada perempuan masa kini.
Pencapaian Angreni tidaklah dapat dilakukan oleh perempuan biasa yang tidak memiliki pemahaman akan ilmu hidup yang tinggi. Seperti itulah sosok perempuan Jawa dicitrakan di masa lalu.
Editor : Trisna Eka Adhitya
Artikel Terkait