MOJOKERTO, iNewsMojokerto.id - Majapahit mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Namun tak lama sepeninggal beliau, berbagai tatanan tampak memengaruhi stabilitas kerajaan.
Masa pemerintahan pasca Hayam Wuruk diperburuk dengan masa turun jabatan Patih Gajah Mada sebagai sentra poin politik perluasan kekuassaan Majapahit.
Pemahaman masa redup Majapahit selama ini dibaca dari perkiraan pecahnya Paregreg, perpindahan ibukota kerajaan dari Trowulan, serta berdirinya Kesultanan Demak.
Namun, adakah bukti yang lebih konkret dan dapat dilihat mata?
Uraian menarik disampaikan oleh Edi Triharyantoro dalam artikelnya "Tinggalan Arkeologi Bukti Kegoncangan Politik Majapahit".
Menurut Edi, jika dicermati dengan saksama, ada cukup banyak bukti arkeologi yang menunjukkan adanya kegoncangan politik di dalam Majapahit pasca Hayam Wuruk.
Edi menyororti fenomena keberadaan puluhan bangunan suci berundak di lereng Penanggungan. Menurutnya, hal tersebut memberi petunjuk tertentu.
Jika sesuai dengan catatan Mpu Prapanca, bangunan suci bagi kerajaan Majapahit memang ada beberapa macam. Bangunan tersebut adalah (su)dharma haji, yang jumlahnya 27 dan menjadi tanggung jawab seorang dharmadhyaksa;
Kedua, Dharmalepas prathista Siwa yang terdiri dari 9 kuti balay, 5 parhyang, 4 prasadha haji dan 20 spathikeyang yang kesemuanya menjadi tanggung jawab seorang saiwadhyaksa atau dharmadhaksya ring kasaiwan;
Lalu, ketiga, Dharma kasogatan yang terdiri atas 43 kawinayan dan 50 kabajradaran, penanggungjawabnya adalah bodhadhyaksa atau dharmadhyaksa ring kasogatan.
Terakhir, Karesyan yang jumlahnya hanya 7 dan diawasi oleh seorang mantri her-haji.
Bangunan suci Majapahit mencerminkan konsep keagamaan yang dianut oleh masyarakat. Uniknya, pada masa Majapahit akhir, muncul banyak bangunan suci berundak sebagaimana ditemukan di lereng Penanggungan.
Bangunan suci tersebut menunjukkan perubahan yang sangat mendasar dari aspek seni bangun di Jawa Timur.
N.J. Krom dan W.F. Stutterheim berpendapat bahwa perubahan gaya seni arca dan bangunan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur bukanlah karena lunturnya mutu arsitektural yang berkaitan dengan surutnya pengaruh India, melainkan karena telah timbul kembali unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli yang dilatari oleh pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Quarith Wales dan van Romondt mengembangkan pendapat tersebut. Menurut keduanya, persamaan struktural antara bangunan suci berundak di lerengPenanggungan pada masa Majapahit dengan punden berundak masa Prasejarah, merupakan petunjuk tentang adanya pemujaan terhadap arwah nenek moyang di puncak gunung.
Edi Triharyanto pun menyimpulkan sebuah hipotesa. Kemiripan bangunan suci berundak di lereng gunung Penanggungan serta candi prasejarah dapat dijadikan indikasi (simbol) tentang kondisi kegoncangan politik kekuasaan Majapahit pada waktu itu. Khususnya pada masa pemerintahan Puteri Suhita (1429-1447 M) menjelang akhir keruntuhan Majapahit.
Menurut Edi, pada masa ini muncul kembali gerakan dari masyarakat bawah untuk menggeser nilai-nilai agama (Hindhu) yang sebelumnyyaa menggantikan kepercayaan asli nenek moyang.
Editor : Trisna Eka Adhitya
Artikel Terkait