Aliran maut ini diperkirakan menuju arah Barat Laut. Tepatnya melalui kali Gembolo dan anak-anak Sungai Brantas lain yang berasal dari gunung Welirang.
Secara rinci, di samping aliran benda-benda lepas hasil longsoran dari kompleks Gentonggowahgede dapat saja meluncur melalui lembah Jurangcelot. Kemudian langsung menghambur ke daerah Jatirejo.
Jika sesuai prediksi para ahli, aliran lahar ini tumpahnya persis di daerah pusat Kerajaan Majapahit. Hal itulah yang diduga kuat "melenyapkan" kerajaan ini.
Longsoran itu mungkin saja diawali oleh gempa hebat dan banjir sungai yang besar. Untuk mendukung teori tersebut di atas, Sampurna pada pertemuan ilmiah Ikatan Ahli Geologi ke 9 di Yogyakarta (1983) berkata;
"Tidak mungkin suatu kerajaan besar lenyap begitu saja tanpa meninggalkan suatu relik. Akan tetapi untuk Majapahit seakan-akan pada suatu saat segalanya itu dihancurkan oleh suatu bencana hebat”.
Meski demikian detail prediksi para ahli, belum ada yang mampu memperkirakan kapan bencana tersebut terjadi. Apakah bencana tersebut terjadi sebelum pemindahan ibukota ataukah sesudah pemindahan ibukota?
Salah satu catatan adanya bencana alam itu bisa saja merujuk pada informasi dalam risalah Kerajaan Majapahit yang disebut dengan Guntur Pawatugunung. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1481.
Yang jelas, menurut hasil penelitian terhadap area Trowulan, Ir. Sampurno secara khusus menunjuk bahwa ada sistem teknologi dan tata air di ibukota Majapahit. Berbagai saluran dan pipa yang tersisa membuktikan adanya teknologi mengenai sistem tata air yang cukup maju pada zamannya.
Editor : Trisna Eka Adhitya
Artikel Terkait