Ironi Kemanusiaan di Jombang, Keluarga Miskin Kembali Tak Tersentuh Bansos
JOMBANG, iNewsMojokerto.id - Sebuah ironi kemanusiaan terpampang pilu di Dusun Cangkring, Desa Cangkringngrandu, Kecamatan Perak, Kabupaten Jombang. Davit Hidayah Tullah, seorang bocah berusia 10 tahun, harus menjalani seluruh masa kecilnya dalam kondisi lumpuh total.
Kondisi ini bukan hanya merenggut haknya untuk berlari dan bermain, tetapi juga menelanjangi carut-marut sistem perlindungan sosial pemerinrah yang tampak abai pada penderitaan kronis dan berlarut-larut.
Sejak mengalami sakit kuning pada usia dini, otot-otot Davit tak pernah berkembang sempurna. Hingga usianya satu dekade, ia hanya bisa terbaring kaku di kasur usangnya. Kedua kaki dan tangannya tampak kurus kering, sisa dari saraf yang tak berfungsi optimal.
Secara kognitif, Davit masih dapat merespons dan berkomunikasi dengan lancar, sebuah pengingat pahit akan kesadaran penuhnya atas keterbatasan fisik yang ia tanggung. Yang membuat kisah ini terasa begitu mengiris adalah pengakuan sang ibu, Ismiati (52).
Di tengah perjuangan merawat Davit 24 jam sehari, ia mengungkapkan pengakuan mengejutkan bahwa keluarga mereka tidak pernah menerima bantuan sosial (bansos) rutin dari pemerintah. "Yang rutin tidak ada. PKH juga tidak pernah," aku Ismiati saat ditemui Selasa (2/12/2025).
Jaring pengaman sosial, yang seharusnya menjadi benteng utama bagi warga miskin dan penyandang disabilitas, seolah tak pernah menjangkau rumah mereka. Ismiati hanya mengingat beberapa kali bantuan sporadis yang diterima.
Yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp900.000 dan tiga kali bantuan COVID-19 senilai Rp300 ribu per penerimaan. Jumlah ini tentu tidak sebanding dengan beban hidup keluarga yang salah satu anggotanya mengalami disabilitas parah.
Saat ini, Ismiati sudah tidak dapat bekerja karena harus merawat Davit sepanjang waktu. Kebutuhan sehari-hari kini ditopang oleh penghasilan salah satu anaknya yang bekerja sebagai live streamer TikTok dan penjual pakaian bayi, sebuah upaya subsisten yang rentan. Beban keluarga ini kian berlipat setelah suami sekaligus penopang hidup mereka meninggal dunia, belum genap seratus hari.
Kondisi ekonomi yang terpuruk kian diperparah dengan pengakuan Ismiati bahwa keluarga ini tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan. Hal ini berarti akses Davit terhadap layanan kesehatan esensial terputus. "Kalau berobat ya bayar sendiri," ujarnya.
Ia mengaku telah mencoba berbagai terapi, mulai dari fisioterapi hingga totok saraf, tetapi semua upaya itu sia-sia. Putus asa melihat ketiadaan perubahan, ia terpaksa menghentikan pengobatan Davit.
"Sekarang saya sudah tidak membawa dia berobat lagi karena dulu berharap dia bisa berjalan, tapi tidak ada perubahan," ungkap Ismiati.
Di tengah situasi ini, harapan Ismiati begitu sederhana dan memilukan. Ia tidak menuntut kesembuhan yang mahal, melainkan hanya fasilitas dasar untuk meringankan penderitaan anaknya. "Ya maunya anak saya dapat bantuan kursi roda atau apa, saya terima saja," ungkapnya memungkasi.
Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat (Kasi Kesra) Desa Cangkringrandu, Ewilda Bahtiar, membenarkan bahwa keluarga Ismiati belum pernah menerima Program Keluarga Harapan (PKH) maupun bantuan sembako rutin.
Berdasarkan data desa, ia menyebut keluarga ini masuk kategori desil 2, menandakan kondisi ekonomi yang sangat rentan. Penjelasan dari pihak desa menyingkap kembali persoalan klasik dalam penyaluran bansos, yakni masalah data dan birokrasi.
Ewilda menyebut, desa hanya bertugas mengusulkan data, sementara penentuan final penerima sepenuhnya berada di tangan Kementerian Sosial (Kemensos) dan pihak terkait.
Untuk mendapatkan bansos rutin, keluarga tersebut harus segera mengajukan lewat aplikasi Cek Bansos atau ke desa, dengan batas waktu pengajuan pada 10 Desember. "Belum ada PKH, belum ada sembako, tapi baru-baru ini dapat BLT Kesra dari pemerintah pusat," pungkas Ewilda.
Editor : Zainul Arifin