KEDIRI, iNewsMojokerto.id - Meskipun fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengikat layaknya peraturan-peraturan jalur legislasi, namun euforia umat beragama selalu sensitif ketika MUI mengeluarkan fatwa. Yang paling mutakhir, MUI menetapkan fatwa pelarangan mengucapkan salam lintas agama.
Fatwa ini sekaligus menjadi jawaban dari desas desus dialektika kebolehan-larangan mengucapakan salam antar pemuluk agama selama bertahun-tahun. Namun ternyata, fatwa inipun juga melahirkan dialektika pada konteks yang lebih sensitif yakni potensi intoleran.
Kita semua tahu, mengucapkan salam pada penganut agama lain efeknya tidak se-bom bastis mencela ataupun mencaci agama lain. Salam merupakan doa, dimana setiap agama memiliki bahasa sendiri-sendiri yang bertujuan sama: mendoakan kebaikan. Tapi kenapa mesti dipermasalahkan? “Apapun kebijakan lembaga agama (MUI, Kemanag, read) pasti melahirkan persepsi”. Slogan ini diadopsi dari ucapan Karl Marx “die religion … ist das opium des volkes” (agama adalah opium bagi masyarakat).
Jadi apapun isunya, bahkan sekecil biji charmomil (buah biji-bijian Jerman) akan menimbulkan dialektika.
Dialektik tentu bukan hambatan. Kendati fatwa MUI tidak menimbulkan sanksi, namun sosio-legal effect menggelembung di bawah rumput (gress root).
Fatwa MUI seperti bola salju yang menjalar ke semua arah, sehingga menimbulkan cara pandang yang berbeda-beda. Seperti perkataan Thomas Pierred, risetnya di Indonesia, menyebut MUI sebagai religion machine (mesin fatwa agama). Dalam artian, fatwa-fatwa MUI merupakan blue print yang menggelinding di permukaan, lalu tenggelam menyisir bagian-bagian sub sistem sosial, sampai ke wilayah teologis.
Posisi MUI memang sangat urgen di tatanan kenegaraan, walaupun bukan lembaga legislatif, namun eksistensinya sebagai “kummpulan ulama” dita’dzimi oleh umat Islam. MUI bukan lembaga kongsi-pragmatis, namun forum ijtihad yang memperjuangkan hak-hak esensial umat Islam. MUI tentu bukan lembaga oposan, apalagi kontra pemerintah, penentang moderasi agama juga bukan. MUI adalah lembaga fatwa yang bebas dari intervensi siapapun, karena berangkat dari sikap tabarru’ wa al-akhdam. Karena itu, MUI seringkali dianggap targeted mayority, dimana putusan fatwanya empuk untuk dikritik.
“Mendandani” Toleransi
Tudingan intoleransi atau bahkan menciderai agenda moderasi beragama, tentu tidak dapat dibantah. Fatwa pelarangan mengucapkan salam secara terjurus untuk umat Islam, namun karena dilalah-nya ‘am, maka semua agama terimbas efeknya.
Kenapa demikian? Karena ucapan salam adalah bentuk sapaan untuk membuka hubungan harmonis, selain juga, salam menjadi starting attitude untuk bersikap toleran. Salam menjadi bukti bahwa secara etika, kita menghargai perbedaan. Analognya sederhana, ketika akan berkunjung ke rumah orang, etikanya, kita mesti mengetuk pintu dengan ucapan halus, maka salam itu adalah pintu membuka hubungan baik sebagai representasi toleran.
Editor : Arif Ardliyanto