GUNUNGKIDUL, iNewsMojokerto.id - Cupu Panjala diyakini memberi petunjuk nasib Indonesia selama setahun ke depan. Kisah dan tradisi terkait cupu ini dilestarikan hingga sekarang oleh masyarakat Gunung Kidul.
Memasuki bulan Mulud, ritual pembukaan kain penutup Cupu panjala digelar, Senin (10/10/2022). Tepatnya pada malam Selawa Kliwon pertama di bulan Rabiul Awwal.
Dalam penelusuran Septi Wijian dkk. yang tertuang dalam artikel Menguak Misteri Ramalan Cupu Panjala di Mekar Panggul, Ditemukan riwayat Cupu Panjala terkait dengan amanat Sunan Kalijaga.
Kisah ini ternyata bermula pada tahun 926 Hijriyah/1505 Masehi. Kala itu Sunan Kalijaga menyiarkan
agama Islam di Pulau Jawa tepatnya di wilayah Girisekar, Kecamatan Panggang.
Di sana, Sunan Kalijaga mendirikan tajuk (masjid). Tepatnya di Dusun Blimbing, Girisekar.
Sunan Kalijaga pun memberikan wejangan kepada murid-muridnya. Salah satu murid bernama Kyai Wonowongso dari Dusun Blimbing, Girisekar.
Selain Kyai Wonowongso, mereka yang berguru pada Sunan Kalijaga adalah di sana adalah Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Juru Mertani, Ki Ageng Giring, Ki Ageng Penjawi, dan Ki Ageng Wonolopo. Ketika akan berpindah daerah syiar, Sunan Kalijaga mempercayakan Ki Ageng Wonowongso untuk merawat tajuknya.
Ki Ageng Wonowongso pun menerima amanah dan membangun tempat tinggal di dekat tajuk. Selama menjaga amanat Sunan Kalijaga itu, Ki Ageng Wonowongso menikah dan dikaruniai seorang putra bernama Sayek.
Suatu hari, ada sebuah acara selamatan dengan sajian hidangan yang dibawa dari setiap rumah. Nyi Ageng Wonowongso pun memasak nasi hasil panen.
Nasi yang sudah matang kemudian ditempatkan di sebuah wadah dan didinginkan dengan cara dikipas. Saat Sayek sang anak pulang dari bermain, ia langsung mengambil nasi itu untuk dimakan.
Nyi Ageng Wonowongso marah dan memukul anaknya dengan centhong. Sayek tersinggung dan lari dari rumah.
Dikisahkan bahwa anak Ki Ageng Wonowongso ini berjalan selama 40 hari ke arah selatan hingga sampai di pesisir pantai. Tiba di tempat yang kini dinamai Pantai Gesing itu, Sayek bertemu dengan bangsa Kajiman yang merupakan anak buah dari Nyi Ratu Roro Kidul.
Sayek pun dijadikan saudara selama bertahun-tahun lamanya. Ia tinggal bersama bangsa jin di samudera selatan.
Kyai Wonowongso dan istri akhirnya merasa kehilangan putra semata wayang. Mereka berdua melakukan semedi untuk meminta petunjuk kepada Tuhan tentang keberadaan sang anak.
Setelah bersemedi selama tujuh hari, Ki Ageng Wonowongso mendapat petunjuk. Ia mendapat firasat untuk melakukan perjalanan ke arah selatan.
Sampai di area pantai selatan Ki Ageng Wonowongso bejumpa dengan tiga orang pesemedi yang sedang mengamati
pantai. Kyai Wonowongso bertanya kepada ketiga orang pesemedi tersebut.
Mereka awalnya tidak menjawab danhanya saling tatap. Kyai Wonowongso pun mengulangi pertanyaannya lagi.
Akhirnya, salah seorang yang bernama Reso Semito menjawab. Ia mengatakan mereka tidak melihat seorang anak tapi melihat jejak kaki seorang anak yang menilas di pasir pantai.
Akhirnya, Ki Wonowongso meminta bantuan, bagaimana caranya agar ia dapat melihat anaknya. Para pesemedi tersebut menyarankan Ki Ageng Wonowongso melakukan puasa tujuh hari tidak makan dan minum.
Bernarlah. Setelah tujuh hari merampungkan puasanya, Kyai Wonowongso kembali ke pantai selatan. Di sana ia pun bisa melihat anaknya yang bernama Sayek.
Anehnya, ia tak bisa mendekati sang anak. Para pesemedi kembali menyarankan untuk memenuhi syarat lain.
Ki Ageng Wonowongso diminta membawa nasi satu kepal dan jala. Nasi satu kepal nantinya akan dilemparkan ke arah pantai.
Nasi itu digunakan untuk "memancing" Sayek. Saat sang anak mulai terlihat, Kyai Wonowongso mesti segera menangkapnya dengan jala.
Setelah berhasil menjala anaknya, Kyai Wonowongso bersegera mengajak sang putra pulang. Namun Sayek mengatakan bahwa bisa pulang setelah mengambil mainannya.
Sayek pun berpamitan dan membawa dolanan berupa genthong kecil (guci). Guci inilah yang kini disebut dengan Cupu Panjala.
Editor : Trisna Eka Adhitya