MOJOKERTO, iNewsMojokerto.id - Di salah satu sudut Trowulan terdapat sebuah arca unik berbentuk ikan. Dari jenis objek yang dipilih arca ini sudah menarik sangat perhatian.
Hewan ikan cukup jarang ditemukan dalam peninggalan arkeologi dala bentuk arca. Dikutip dari salah satu tulisan Edi Triharyantoro dalam buku "Sandhyakala ning Majapahit Pembelajaran dari Pasang Surut Kerajaan Majapahit", arca ikan di Trowulan sempat disebut dalam sebuah catatan Belanda.
Tepatnya berdasarkan laporan Belanda dalam Raportten Oudheidkundige Diens (ROD) 1907. Di sana tercatat di dukuh Bata-Paloeng, Trowulan, distrik Mojokerto terdapat arca ikan yang oleh penduduk setempat disebut Bata-Paloeng
atau Ikan Paloeng .
Arca unik ini berukuran relatif besar. Tingginya lebih satu meter dengan kelilingnya 2,4 meter.
Sayangnya kondisi arca ini memprihatinkan. Menurut catatan Edi, saat ini Ikan Paloeng hanya tersisa bagian kepalanya saja.
"Kondisi arca pada saat ini hanya tersisa bagian kepalanya dan berukuran relatif besar tingginya lebih satu meter dengan kelilingnya 2,4 meter. Sudah barang tentu pembuatan arca ikan yang berukuran besar mengundang penafsiran makna sebagai tinggalan arkeologi," tulis Edi sebagaimana dikutip Tim iNews dari buku "Sandhyakala ning Majapahit Pembelajaran dari Pasang Surut Kerajaan Majapahit".
Arca Ikan Paloeng Bukti Pengaruh India
Wujud arca ikan ini tentu menimbulkan pertanyaan para ahli arkeologi. Apa fungsi arca ikan ini di zaman Majapahit?
Untuk memahami hal tersebut, menurut Edy kita perlu kembali mengingat masa-masa yang sangat tua di mana pemujaan terhadap binatang merupakan gejala budaya yang bersifat universal. Pemujaan terhadap binatang setidaknya populer ditemukan di Mesopotamia, India, Cina, Mesir, dan Jepang.
Di Indonesia, khususnya di Jawa, figur ikan ternyata cukup sakral. Sosok ikan sebagai makhluk suci kuat dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan dari India.
Di dalam Adiparwa misalnya, dikisahkan seorang raja yang bernama Basuparicara yang memuja dewa Indra. Saat ia sedang berburu, ia melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan teringatlah dia pada permaisurinya Dewi Girika.
Oleh karena itu, keluarlah air kama sang raja. Air kama tersebut kemudian ditampung
dengan sehelai daun.
Saat bersamaan, datang seekor burung elang yang membawa seorang bidadari yang dikutuk menjadi ikan. Ikan tersebut diletakkan di daun tempat air kama Basuparicara. Ikan tersebut pun hamil.
Darinya lahirlah dua bayi, laki-laki dan perempuan Yang laki-laki bernama Matsyapati yang kemudian menjadi raja Wirata, sedangkan yang perempuan bernama Durgandhini.
Kelak Durgandhini menjadi perempuan yang menurunkan Abiyasa dan raja-raja Hastinapura.
Editor : Trisna Eka Adhitya