MOJOKERTO, iNews.id - Tata kelola pemerintahan adalah salah satu topik yang menunjukkan kebesaran Kerajaan Majapahit. Hal itu termasuk tata kelola hukum di wilayahnya.
Rujukan mengenai tata hukum Majapahit didapat melalui Kitab Kutaramanawa. Itu adalah kitab undang-undang kerajaan Majapahit.
Ada dua prasasti paling jelas yang menyebut nama Kutaramanawa, yaitu prasasti Bendasari dan prasasti Trowulan. Kedua prasasti dikeluarkan pada masa Prabu Hayam Wuruk.
Oleh karena itu, Kitab Kutaramanawa dipercaya diterapkan pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Sebuah kitab yang mengatur hukum pertanian hingga hukuman atas tindak kejahatan.
Salah satu tindak kejahatan yang dicatat dalam Kutaramanawa adalah praktik tenung atau guna-guna. Sebuah praktik mistik yang diyakini masih marak di masa kini.
Tenung Ditindak Tegas di Majapahit
Dalam hukum pidana yang berlaku saat ini, praktik guna-guna dianggap tidak ada atau tidak dapat dibuktikan keberadaannya. Oleh karena itu, tidak ada undang-undang yang mengatur tindak pidana yang dilakukan dengan media guna-guna.
Namun, tidak demikian di masa Majapahit. Guna-guna, tenung, dan praktik semacam itu dianggap benar terjadi dan diterima dalam realita masyarakat.
Kutaramanawa mengatur hukuman bagi orang yang terbukti melakukan praktik tenung dan mengancam nyawa orang lain. Hal ini diuraikan sedemikian rinci dalam pasal 173.
“Jika orang menulis nama orang lain pada pakaian atau kain orang meninggal, atau pada kain yang berbentuk boneka, atau boneka terbuat dari tepung dan mengubur boneka itu di kuburan, atau meletakkannya di dalam pohon, di tanah yang telah dibubuhi mantera, atau pada simpangan jalan, maka orang yang demikian itu dianggap sebagai tukang sunglap yang jahat; kalau kelahatan orang yang demikian itu terbukti, maka baginda harus membunuhnya dengan semua anak cucunya dan orang tuanya; tidak seorangpun di antaranya boleh dibiarkan hidup oleh baginda, kalau baginda hendak mencapai kesejahteraan dunia; semua hak miliknya yang ada di dalam daerahnya boleh diambilnya” . (Terjemahan Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996)
Dalam pasal tersebut dapat dipahami bahwa hukuman bagi orang yang terbukti melakukan praktik tenung atau guna-guna adalah hukuman mati. Di mana pemegang kuasa terhadap hukuman tersebut tidak lain adalah Raja Majapahit.
Bahkan, hukuman mati tersebut tidak hanya untuk pelaku tenung, tetapi juga para keturunnanya. Dengan kata lain, hukuman bagi pelaku tenung adalah diputus silsilah darahnya.
Ketegasan hukuman seperti ini tidak ditemukan di masa kini, di seluruh penjuru dunia manapun. Praktik mistik semacam itu dianggap hanya takhayul.*
Editor : Trisna Eka Adhitya