“Ketika ada pro-kontra pendirian sekolah keagamaan di Gunung Anyar, Mas Wali turun langsung mengajak dialog tokoh masyarakat. Begitu juga saat ada konflik warga di Bubutan, beliau turun mencari solusi sampai semua pihak puas. Itu kepemimpinan yang menenangkan,” tutur Fathoni.
Ia menegaskan bahwa tudingan pencitraan terhadap Eri Cahyadi tidak relevan, sebab masyarakat Surabaya telah dua kali memberikan mandat melalui pemilihan langsung.
“Kalau Mas Wali mau pencitraan, beliau tidak perlu repot. Beliau sudah dua kali dipercaya masyarakat Surabaya. Hari ini beliau bekerja bukan untuk membangun citra, tapi untuk memenuhi amanah itu,” ucapnya.
Mas Toni juga menilai bahwa penggunaan media sosial oleh Eri Cahyadi justru merupakan bentuk pertanggungjawaban publik, bukan alat pencitraan.
“Media sosial digunakan sebagai jembatan komunikasi, agar warga tahu apa yang sudah dan sedang dikerjakan pemerintah kota,” jelasnya.
Di akhir wawancara, Mas Toni mengajak masyarakat agar lebih bijak menyikapi isu di media sosial. Ia menekankan pentingnya membangun budaya pemaaf dan mendukung semangat anak muda untuk terus berkreasi.
“Kita harus jadi masyarakat yang pemaaf. Jangan sampai satu kesalahan kecil membuat anak muda kehilangan semangat dan kreativitas. Surabaya ini kota yang besar karena masyarakatnya mau belajar, bukan menghukum,” pungkasnya.
Editor : Trisna Eka Adhitya
Artikel Terkait
