MOJOKERTO, iNewsMojokerto.id - Pada tanggal 19 Juli 2023 mendatang, masyarakat akan menyambut bulan Muharram atau yang dikenal dengan nama bulan Suro dalam tradisi Jawa.
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, bulan Suro dikaitkan dengan energi besar dan seringkali negatif. Oleh karena itu, masyarakat mengaitkannya dengan kesialan.
Suro adalah bulan yang diciptakan oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645) pada zaman Mataram Islam.
Masyarakat Jawa pun mengenal banyak pantangan yang sebaiknya diikuti selama bulan tersebut. Melanggar pantangan tersebut diyakini membawa ketidaktenangan dalam hidup dan berbagai dampak buruk lainnya.
Ada 5 mitos tentang bulan Suro yang sangat diyakini oleh masyarakat Jawa. Hingga saat ini, kalangan yang meyakini kesakralan bulan Suro pun masih melanggengkan mitos Suro.
Simak apa saja mitos bulan Suro dalam tradisi Jawa berikut ini. Apakah pembaca adalah kalangan yang percaya atau tidak?
1. Larangan melangsungkan pernikahan
Menurut primbon Jawa, pernikahan tidak boleh dilangsungkan selama bulan Suro.
Alasannya adalah melangsungkan pernikahan pada bulan ini diyakini hanya akan mendatangkan kesialan kepada keluarga, khususnya pasangan yang melangsungkan perayaan tersebut.
Jika memang terpaksa melangsungkan pernikahan pada bulan Suro, biasanya pihak yang merayakan memberikan sesajen sebagai bentuk penghormatan.
Namun, ada juga pandangan bahwa melangsungkan pernikahan pada bulan Suro akan menyaingi ritual keraton.
2. Larangan bepergian jauh
Menurut primbon Jawa, selama bulan Suro, masyarakat sebaiknya tidak melakukan perjalanan jauh. Hal ini dianggap hanya akan membawa kesialan dalam hidup.
Perjalanan jauh pada bulan ini bisa menyebabkan bencana dan kesialan. Masyarakat Jawa meyakini bahwa di bulan Suro ada arus energi yang besar.
Jika seseorang berpergian dan "bertabrakan" dengan energi tersebut, diyakini ada dampak yang ditimbulkan. Kebanyakan dampak ini bersifat negatif atau buruk bagi orang tersebut.
3. Larangan pindah rumah
Masyarakat Jawa meyakini bahwa pindah rumah pada bulan Suro juga membawa dampak buruk.
Menurut primbon Jawa, bulan Suro bukanlah waktu yang baik untuk melakukan perpindahan rumah.
Sama halnya dengan larangan bepergian. Mereka yang nekat pindah rumah pada bulan ini diyakini akan mengalami kesialan dan ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga.
4. Larangan mengadakan hajatan
Pada bulan Suro, sebaiknya tidak mengadakan hajatan seperti pernikahan, sunatan, dan acara lainnya.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, ada sumber yang menyatakan bahwa bulan Suro merupakan bulan sakral dengan energi besar yang tidak mampu ditampung oleh sembarang orang.
Pada bulan ini justru kalangan keratonlah yang biasanya menggelar hajatan. Oleh karena itu, masyarakat biasa dilarang menggelar hajatan serupa.
Alasannya adalah jika ada pesta hajatan pada bulan Suro, diyakini akan menyaingi ritual keraton. Persaingan tersebut mungkin memberi dampak buruk bagi masyarakat biasa.
5. Penggunaan ritual keraton
Suro adalah bulan yang dikenalkan oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (1613-1645) pada zaman Mataram Islam. Selama bulan Suro, masyarakat Jawa biasanya melakukan banyak ritual mistis.
Salah satu yang populer adalah ritual tapa bisu di sekitar benteng Keraton Yogyakarta. Dalam ritual tersebut, makan, minum, dan merokok juga dilarang.
Ritual tapa bisu dilakukan oleh para abdi dalem keraton pada malam satu Suro. Ritual ini merupakan serangkain upacara tolak bala dan penyucian sejumlah atribut kuno keraton.
Meski demikian, ritual suro sejatinya tidak hanya beredar di kalangan keraton saja. Di banyak wilayah di Jawa Timur pun, masyarakat kerap menggelar kegiatan peringatan malam 1 Suro yang diyakini sebagai malam yang sakral.
Editor : Trisna Eka Adhitya
Artikel Terkait