SURABAYA I duta.co - Pemprov Jatim didorong mengambil kebijakan berani dalam menangani wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Karena masuk kategori bencana, maka bisa menggunakan biaya tidak terduga (BTT). Sebab, PMK menyebabkan banyak peternak kehilangan pemasukan.
Hal ini diungkapkan Ketua DPD Gerindra Jatim, Anwar Sadad, di Surabaya, Senin (4/7/2022). Ia akan mendesak Pemprov Jatim lebih serius dalam menangani PMK.
“Kami akan komunikasi dengan Plt Gubernur Jatim Mas Emil dan Dinas Peternakan. Saya kira Pemprov perlu datang dan melihat langsung, agar tahu formulanya. Apalagi ini sudah pandemi, ini penting agar tidak semakin buruk. Kalau bisa duduk bareng dengan peternak, agar ketemu solusinya,” tegas Gus Sadad.
Menurutnya, kasus wabah PMK kategorinya sama dengan pandemi covid-19. Sehingga perlu penanganan khusus.
“Sama kayak Corona kan pakai itu (BTT), PMK juga masuk kategori bencana. Dinas Peternakan sejauh ini tidak memiliki antisipasi ini. Karena sesuai SK Gubernur masuk bencana, ya harus berani menerapkan BTT. Ini berpacu waktu, daya tahan peternak juga mengatasi ini kan dari uang pribadi mereka, kalau hutang apa gak berbunga, kan kasian,” papar Sadad yang juga Wakil Ketua DPRD Jatim ini.
Gus Sadad juga meninjau langsung kandang peternakan sapi perah di Dusun Kumbo, Desa Telogosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, Minggu (3/7/2022) petang. Dirinya melihat bagaimana para peternak kelimpungan terimbas wabah ini.
Dalam kesempatan ini, para peternak sambat pada Sadad. Salah satunya, Jafar Sodiq, yang mengaku kesulitan membeli obat herbal untuk sapi perah miliknya yang terpapar PMK.
“Saya punya 24 sapi perah, semuanya terpapar PMK. Satu mati, dua potong paksa dan saya jual murah hanya Rp 3 juta. Kami sudah hancur-hancuran mengeluarkan uang untuk membeli obat herbal, sedangkan pemerintah hanya memberi bantuan antibiotik dan vitamin yang sebenarnya tidak optimal sekarang juga sudah tidak memberi,” kata Jafar.
Jafar menjelaskan, antibiotik dan vitamin tidak optimal untuk penyembuhan hewan ternak yang terpapar PMK. Menurutnya, obat herbal menjadi opsi peternak untuk mengatasi PMK.
"Kemarin beli obat herbal itu satu harganya Rp 250 ribu satu ekor, kadang ada yang butuh 3 obat herbalnya untuk satu ekor jadi Rp 750 ribu. Itu kita berat, ketambahan untuk pemulihan hewan ternak, kita butuh beli konsentrat sapi per hari 2 karung yang harganya Rp 210 ribu per karung," bebernya.
Jafar mengungkapkan, akibat puluhan sapi perah miliknya terpapar PMK, menyebabkan tidak ada produksi susu. Kalaupun ada, pabrik tidak mau menerima. Biasanya, dulu 24 sapi perah miliknya bisa produksi 200 liter susu.
“Karena ada sapi saya pulih, namun susunya keluar tapi ada kandungan antibiotik, itu ditolak oleh pabrik. Otomatis ya di sini banyak susu sapi dibuang karena mengandung antibiotik, kan bahaya untuk anak-anak,” ujarnya.
“Sudah tidak dapat pemasukan produksi susu selama 20 hari. Dan kita tetap kasih makanan konsentrat, itu berat buat petani. Kalau tidak ada konsentrat hanya ijoan, sapinya ambruk karena itu karbohidrat,” jelasnya.
Jafar berharap ke Gus Sadad agar bisa memberi solusi kepada peternak sapi. "Mudah-mudahan Gus Sadad bisa menyampaikan ke Pemprov Jatim agar ada bantuan konsentrat, demi membantu beban peternak. Kita sudah gak mikir perut sendiri, yang penting sapi dulu," jelasnya.
Sementara itu, Pengurus KPSP (Koperasi Peternakan Sapi Perah) Setia Kawan Nongkojajar, Julianto mengungkapkan, produksi susu di wilayah Nongkojajar menurun sejak PMK.
“Produksi biasanya 125 ton susu sapi per hari. Sekarang hanya sekitar 80 ton susu sapi per hari, bahkan sempat 50-60 ton sehari. Karena di beberapa dusun salah satunya di Kumbo itu banyak sapi perah terpapar PMK,” jelasnya.
Hingga 3 Juli 2022, ada sebanyak 136.153 hewan ternak yang terpapar PMK di Jatim. Dari jumlah itu, sebanyak 106.663 ekor masih sakit. Sebanyak 27.721 ekor sembuh, 811 ekor mati dan 988 ekor dipotong paksa.
Editor : Trisna Eka Adhitya